Selasa, 03 Mei 2011

CARA MELAWAN PROPAGANDA

CARA MELAWAN PROPAGANDA
Propaganda yang berdampak positif tak perlu dilawan kalau memang untuk kepentingan masyarakat. Yang menjadi masalah jika propaganda pembangunan justru merugikan masyarakat karena tak ada ganti rugi memadai, penggusuran paksa, tentu hal demikian perlu ditolak.
A. Counter propaganda
Jika propaganda toh pada akhirnya berdampak negatif harus dilawan dengan propaganda pula. Dengan kata lain melalui Counter propaganda. Dalam counter propaganda, propagandis memberikan ide dan gagasan yang sudah melenceng, memberikan fakta-fakta empirik beserta dampak positif yang dimungkinkan terjadi. Counter propaganda ini harus dilakukan terus menerus agar tertanam kuat dalam benak orang lain. Atau kalau sudah tertanam kuat keburukan propaganda bisa sedikit banyak mempengaruhi pola pikirnya. Ketika orang tersebut dalam posisi bimbang dan mempertimbangkan setelah sebelumnya mempercayai dan berperilaku propagandis jelek, itu artinya Counter propaganda sudah bisa dikatakan berhasil, meskipun belum sepenuhnya.
Counter propaganda harus dilakukan agar dampak negatif atau informasi yang sudah menyebar dan mempengaruhi perilaku masyarakat tidak diteruskan. Memberikan informasi yang benar menjadi salah satu perilaku Counter propaganda.
Berikut beberapa kasus yang menjadi contoh kasus Counter propaganda;
1. Contoh Pertama. Kasus pertama adalah Counter propaganda tentang pelaksanaan pemekaran birokrasi yang tidak dipertimbangkan secara matang oleh pemerintah orba, khususnya. Pemekaran yang tidak direncanakan dan hanya untuk memenuhi target politik (mendukung Golkar dalam pemilu) tersebut telah nyata membuahkan implikasi negatif, salah satunya muncul maladministrasi (penyimpangan administrasi) dan prosedur yang berbelit-belit (red tape).
2. Contoh kedua. Kasus kedua menjadi Counter propaganda tentang pelaksanaan demokrasi yang sudah melenceng. Atau bahkan adanya pelaksanaan otoritarianisme. Padahal di masyarakat usulan pelaksanaan damokrasi dalam bentuknya sering didengungkan. Tak terkecuali ketika pemerintah merasa mengklaim telah melaksanakan kehidupan demokrasi, namun dalam prakteknya tidak sama sekali.
3. Contoh ketiga. Selama ini kekuasan politik cenderung untuk melanggengakan kekuasaan seseorang dan memperkuat status quo. Akibat orientasi semacam itu tak jarang kekuasan digunakan dan melegalkan perilaku kekerasn. Untuk itu, Counter propaganda agar dilaksanakan kesimbangan antara persuasi dan koersi menjadi sesuatu yang tak bisa dihindarkan yang keduanya sama-sama hidup dan fungsional dalam menumbuhkan iklim demokrasi.
4. Contoh keempat. Counter propaganda yang ditujukan pada pers akibat media massa itu kehilangan “daya kritis”. Ini sebagai akibat kepemimpinan Gus Dur dan Megawati yang mempunyai massa banyak yang sedikit banyak membunuh suara kritis pers. Atau pers yang sudah semakin takut seandainya mengkritik dua orang itu. Bukan takut pada mereka, tetapi takut pada massanya yang fanatik.
5. Contoh kelima. Mahasiswa menjadi agen perubahan di setiap rentang waktu kekuasaan. Kasus mundurnya Soeharto tanggal 21 Mei 1998 dari jabatan presiden yang sudah dipegangnya selama 32 tahun menjadi contoh menarik bagaimana mahasiswa itu mampu menjadi sebuah oposisi yang menghancurkan kekuasaan seseorang yang sangat absolut dan tanpa kontrol secara efektif. Jika kekuatan yang dipunyai mahasiswa sebagai oposisi sudah mandul, tentu tidak baik pula bagi kehidupan demokrasi. Sebab lain karena oposisi (terutama dengan adanya kabinet koalisi) menutup peluang oposisi, apalagi di Indonesia saat itu belum dikenal oposisi karena tidak ada partai menang-kalah. Sebuah usaha menggelitik mahasiswa sebagai Counter propaganda agar mereka tetap kritis menyikapi perubahan.
6. Contoh keenam. Contoh propaganda yang ditujukan pada diri Soeharto dan lingkungan kekuasaan di sekitarnya. Ini akibat kekuasaan pak Harto yang sangat lama, nyaris tanpa kontrol secara efektif bisa menimbulkan kultur individu pada diri Soeharto. Keadaan ini tentu tidak kondusif bagi perkembanagn politik, terutama pasca Soeharto.
7. Contoh ketujuh. Isu negara federal mencuat ketika kesenjangan keadilan pendapatan dan kemakmuran masyarakat tidak merata. Counter propaganda ini menjadi sangat efektif untuk menggelitik pemerintah apakah akan melaksanakan otonomi penuh atau negara federal. Sebagai sebuah wacana opini publik, isu federalisme menjadi menarik. Kasus ini juga mempunyai esensi propaganda untuk melawan pemerintah yang tidak segera melaksanakan keadilan pendapatan masyarakat (terutama pusat-daerah).

B. Propaganda dan Pendidikan Politik
Pendidik politik menurut R. Hayer adalah usaha membentuk manusia menjadi partisipan yang bertanggung jawab (Kartono, 1996). Oleh karena itu pendidikan politik harus diupayakan bagi pemahaman kondisi situasi sosial politik, berani mengambil sikap tegas dengan memberikan kritik membangun untuk mewujudkan kebaikan bagi semua, mengarahkan pada proses demokratisasi di semua sektor kehidupan dan sanggup memperjuangkan kepentingan orang banyak diatas kepentingan individu. Jika pemerintah melakukan kesalahan, masyarakat harus berani mengkritik kebijakannya. Kalau pemerintah benar, tentu harus didukungnya.
Pendidikan politik yang mempunyai tujuan ideal seperti di atas hanya bisa dilakukan apabila berbagai informasi yang dikemukakan bersifat mendidik. Oleh karena itu, propaganda yang justru mengantarkan masyarakat pada suasana yang tidak kondusif itu sama saja dengan tidak sedang melakukan pendidikan politik masyarakat. Dengan demikian, Counter Propaganda berupa pemberian informasi yang benar dan mengembalikan sesuatu pada esensinya bentuk lain dari pendidikan politik masyarakat. Ini perlu dilakukan agar masyarakat yang sudah terperosok tidak terjerembab untuk yang kedua kalinya. Maka memulai dari diri sendiri tidak hanya memberikan contoh yang baik pada pihak lain, tetapi juga tindakan paling bijaksana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar